Begitu banyak pendapat yang kita dengar tentang hukum menangisi kematian. Persoalannya sejauh mana kebenaran pendapat berkenaan dan pendapat mana yang paling rojeh untuk kita ikuti. Artikel ini sekadar mengungkap keseluruhan pendapat dan mengambil kesimpulan darinya. Terpulang kepada pembaca sendiri untuk mengambil pendapat mana yang difikirkan paling sesuai.
Dalam menyusuri tajuk di atas ada baiknya kita merujuk dari hadis-hadis Nabi.
Hadis 1
Dari Jabir bin Abdullah radhiallaahuanhu ia pernah berkata: Pada peperangan Uhud ayahku terbunuh, akupun menyingkap kain dari wajahnya dan menangis. Orang-orang melarangku namun Rasulullah SAW tidak melarang, kemudian Fathimah ikut menangis lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, : “Engkau tangisi atau tidak malaikat akan terus menaunginya dengan sayap-sayap mereka sampai kalian mengusungnya.” (Muttafaq ‘alaih).
Hadis 2
Dari Ibnu Umar radhiallaahuanhu diriwayatkan bahwa ia berkata: “Saad bin Ubadah pernah sakit tenat. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang menjenguknya bersama Abdur Rahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash serta Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu anhu. Ketika beliau masuk Saad sudah dikerumuni keluarganya, beliau lalu bertanya: “Apakah ia sudah tiada?” mereka menjawab: “Belum wahai Rasulullah. “Maka beliaupun menangis dan ketika orang-orang melihat Nabi menangis merekapun menangis. Beliau bersabda, yang ertinya: “Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa kerana titisan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (HR. Al-Bukhari)
Hadis 3
Anas bin Malik radhiallaahu anhu juga pernah meriwayatkan ketika putra Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, Ibrahim akan meninggal, ia datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sedangkan Ibrahim nafasnya sudah termengah-mengah, maka kedua mata beliaupun berlinang air mata.
Dalam riwayat lain disebutkan beliau mengambilnya dan meletakkannya di atas pangkuan sambil berkata: “Wahai anakku! Aku tidak memiliki hak kuasa apapun yang dapat kuberikan kepadamu di sisi Allah”.
Melihat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menangis, Abdul Rahman bin Auf dan Anas lalu bertanya: “Wahai Rasulullah mengapa kamu menangis? Bukankah kamu telah melarang menangis?’ Beliau menjawab : “Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya tangisan itu adalah rahmat, dan barangsiapa tidak memiliki kasih sayang maka ia tidak mendapatkan kasih sayang”, kemudian beliau bersabda lagi: ” Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diredhai tuhan kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bermuram durja kerana berpisah denganmu.” (HR. Al-Bukhari dan Mus-lim)
Hadis 4
Dalam riwayat lain Anas berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Zaid mengambil panji peperangan kaum muslimin kemudian ia terbunuh, lalu panji diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah dan dia pun terbunuh, kemudian diambil alih pula oleh Ja’far dan dia juga terbunuh.” Kedua mata Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berlinang air mata. Setelah itu panji diambil alih oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penyerahan sebelumnya, namun melalui tangannya Allah Subhannahu wa Ta’ala memberi kemenangan.” (HR Al Bukhari).
Hadis 5
Dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu disebutkan bahwa ketika Zainab putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam wafat maka sebahagian kaum wanita ada yang menangis, maka ketika Umar radhiallaahu anhu mahu memukul para wanita itu dengan cemetinya, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mencegahnya kemudian beliau bersabda : “Sabar wahai Umar! kalian semua kaum wanita hendaklah berhati-hati terhadap teriakan syaitan!” Beliau kemudian bersabda lagi: “Apabila kesedihan hanya dari mata dan hati maka itu dari Allah dan merupakan rahmat, namun jika itu dari tangan dan mulut maka ia dari syaitan.” (HR. Ahmad)
Hadis 6
Dalam riwayat lain tentang kisah meninggalnya putra Rasulullah SAW yang bernama Ibrahim, yakni sebagaimana disampaikan oleh Asma’ binti Yazid Radhiallaahu anha, dia berkata: “Ketika Ibrahim putra Rasulullah SAW wafat, beliau menangis. Kemudian Abu bakar -atau mungkin Umar- bertanya: “Wahai Rasulullah, Engkau adalah orang yang paling berhak untuk dimuliakan haknya oleh Allah.” Maka beliau bersabda: “Mata bisa menangis, hati boleh bersedih, namun kita hanya mengucapkan yang diredhai Ilahi. Kalaulah bukan janji yang benar, tempat kembali yang sempurna dan akhirat yang pasti datang setelah berlalunya dunia, pasti kami sudah mendapatkan hal yang paling berat dengan kepergianmu. Sungguh kami amat berduka karenamu.” (HR. Ibnu Majah)
Dalil-dalil di atas merupakan hujah-hujah mereka yang berpendapat dibolehkan menangisi kematian atau saat menghampiri kematian. Pendapat tersebut selaras dengan madzhab Hambali sebagaimana kata Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Hanifah.
Sedangkan pendapat Imam Syafi’i dan banyak kalangan shahabat melarang menangisi mayat setelah meninggalnya, dan membenarkan menangis ketika belum meninggal sahaja.
Hujah yang digunakan sebagaimana hadis-hadis di bawah :-
Hadis 1
Dari Jabir bin Atik radhiallaahu anhu, ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjenguk Abdullah bin Tsabit Radhiallaahu anhu beliau mendapatinya sudah hampir meninggal dunia. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memanggilnya namun Abdullah sudah tidak menjawab lagi, kemudian beliau mengucap istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) sambil bersabda :
“Kami terlambat mendatangimu wahai Abu Rabi.” Maka kalangan wanita pun menangis, dan Ibnu Atik berusaha untuk mendiamkan mereka, namun Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, artinya: “Biarkan saja mereka. Apabila datang kepastian maka janganlah ada yang menangis lagi.” Ibnu Atik bertanya: “Apa kepastian itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kematian” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hadits ini sesuai lafazh Abu Dawud).
Ini menujukkan larangan menangisi orang yang telah meninggal dan kebenaran menangisi sebelun meninggal. Larangan tersebut diperkuat dengan hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Hadis 2
Dari Abdullah Ibnu Umar, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya orang meninggal akan tersiksa oleh tangisan keluarganya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Istilah al-mayit yang digunakan di sini menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia kerana orang yang belum meninggal tidak dikatakan sebagai mayat.
Hadis 3
Ibnu Umar Radhiallaahu anhu juga meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pulang dari Uhud dan mendengar di kalangan wanita Bani Asyhal menangisi orang yang meninggal, maka beliau bersabda: “Hamzah tidak ada yang menangisinya.” Maka datanglah wanita dari kaun Al-Anshar lalu menangisi Hamzah di sisi Nabi. Maka Rasulullah bangunt dan bersabda: “Celaka mereka, mengapa mereka menangis di sini, sesungguhnya mereka telah menyusahkan diri sendiri. Suruhlah mereka semua pulang kemudian janganlah mereka menangisi orang yang meninggal setelah hari ini.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Persoalannya bagaiamana kita hendak simpulkan dari perbezaan status hadis-hadis di atas. Kedua-dua pendapat agak kuat dan yang mana patut dijadikan amalan.
Adalah tidak wajar kita menyalahkan pendapat orang lain umpamanya kita bermazhab Syafi’i berpendapat tidak dibolehkan menangisi kematian, tiba-tiba datang orang bermazhab Hambali menangisi kematian lalu kita menyalahkan mereka. Perlu kita sedari setiap imam-imam besar adalah mujtahid dan kita perlu menghormati ijtihad mereka
Kesimpulan dari kedua-dua pendapat di atas, menangisi kematian samaada pada yang sudah meniggal atau akan meniggal adalah dibolehkan asalkan tidak melampaui batas-batas syariat. Jika tangisan beserta teriakan, meraung, memukul wajah, mencarik pakaian dan sebagainya itu adalah suatu yang terlarang.
Ianya bertepatan dengan larangan nabi kerana berupa amalan syaitan seperti hadis di atas. Jika sekadar kata-kata sedih “mak dah tiada” beserta titisan air mata kesedihan tanpa ada perasaan tidak redho dengan pemergiannya tidaklah mengapa. Kata-kata umpama “ kenapa tuhan ambil anak aku….!!! Apa dosa aku…!!!” hendaklah dijauhi kerana ianya umpama kita tidak meredhoi ketentuan Ilahi.
Adapun dalil tentang larangan menangis, perlu kita pahami sebagai larangan dari tangisan yang disertai ratapan serta sikap-sikap sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hal ini juga diperkuat dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sesungguhnya mayat itu akan tersiksa disebabkan ratapan keluarganya , di samping yang menggunakan lafazh tangisan.
Perlu juga diambil perhatian bahawa kesedihan itu tidaklah diperintahkan tetapi dibolehkan dan jika kesedihan itu menjurus kepada kelemahan hati dan menjauhkan dari melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya maka ia adalah tercela.
Sebaliknya jika kesedihan itu diiringi dengan perbuatan-perbuatan terpuji yang mengandungi pahala maka ia menjadi perbuatan terpuji, hanya saja pahala tersebut bukan disebabkan kesedihan itu namun kerana perbuatan baik yang beliau kerjakan.
Dalam Al-Quran sendiri terdapat banyak ayat yang menyuruh kita agar jangan bersedih seperti dalam firman-Nya, yang bermaksud: “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (darjatnya).” (QS.Ali Imran: 139).
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang seumpama dengan ayat di atas. Maka kita sebagai insan yang pastinya akan menempuhi saat-saat sedih ataupun sudah melalui kematian ibu misalnya, ambillah pendapat mana-mana yang difikirkan sesuai.
Janganlah pula kita merasakan pendapat orang lain salah dek kerana kita jenis manusia yang tabah dikurniakan Allah tidak menangis dan kita berpegang pendapat jangan menangis lantas tidak membenarkar orang lain menangis.
Nota : penulis juga menangis semasa menerima berita kematian ibu tapi Al-hamdulillah sekadar titisan air mata….